Strategi Grab Menguasai Pasar
![]() |
sumberfoto:lensaindonesia.com |
Grab dan gojek menjadi transportasi online di Indonesia
yang banyak digunakan. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan ingin melarang penerapan diskon pada
ojek online diakhir bulan Juni.
Hal
itu mendapat respon dari berbagai kalangan, ada yang pro dengan kebijakan
tersebut, adapula yang kontra. Terlebih lagi untuk mereka yang aktif dalam
menggunakan jasa transportasi berbasis online. Soal penghapusan diskon,
Kementerian Perhubungan berharap peraturan itu untuk melindungi pengemudi.
Selain itu, agar antar perusahaan penyedia aplikasi tak saling mematikan. Tak
sedikit yang kontra karena sebelumnya pada 1 Mei 2019 tarif baru untuk ojek online
baru saja diterapkan. Faktor diskon yang “gila-gilaan” dari salah satu jasa
transportasi tersebut menjadi pemicu. Sebenarnya, apa yang terjadi jika hal
tersebut tetap dibiarkan?
Persaingan
tarif yang tidak sehat
Tak
dipungkiri, banyak masyarakat yang memilih Grab karena promo yang didapat.
Misal saja harga yang harusnya dibayar Rp30.000 menajadi Rp20.000 dalam sekali
perjalanan. Belum lagi promo yang diberikan untuk Grabfood bisa setengah harga
dari normal. Mengapa Grab bisa memberikan promo yang terus menerus sedangkan
Gojek tidak? Jawabannya adalah “Modal” Grab sudah terlebih dulu eksis
diaplikasi berbasis online dibandingkan Gojek. Aplikasi asal Malaysia ini telah
melebarkan sayapnya sampai ke-8 negara di Asia Tenggara. Sedangkan Gojek,
hingga saat ini baru melakukan ekspansi ke-3 negara di Asia Tenggara belum lagi
sempat mendapat penolakan di Filipina. Seperti yang kita ketahui, Gojek dan
Grab berkompetisi dalam bisnis transportasi di Indonesia, dua perusahaan ini
tidak berkoalisi yang menyebabkan adanya perang harga dengan kekuatan adu
modal. Jika salah satunya dibiarkan tanpa ada pengawasan, bukan tidak mungkin
perusahaan yang mempunyai modal lebih sedikit akan habis di negaranya sendiri.
Strategi Grab
di Singapura
Sebenarnya
promo yang diberikan Grab saat ini hanya bersifat sementara, sebagai konsumen
seringkali kita hanya melihat dari segi keuntungan, padahal bisa lebih dari itu
jika dilihat untuk jangka panjang. Seperti halnya di Singapura, bagaimana
strategi yang dilakukan Grab dalam mengakuisisi kekuatan Uber. Sebelumnya kedua
aplikasi ini saling bersaing di negara tersebut. Karena modal Grab yang besar,
terjadilah perang harga dengan memberikan promo besar-besaran yang membuat
pesaingnya kurang diminati, alhasil Perusahaan Uber diakuisisi (diambil
alihnya) oleh Grab,bukan hanya di Singapura tetapi mencakup kawasan Asia
Tenggara, hal tersebut menjadi aksi bisnis yang cukup menonjol dari Grab hingga
menjadi Decacorn pertama di Asia Tenggara. Artinya dia telah memiliki nilai
perusahaan di atas US$ 10 miliar yakni setara Rp140 triliun. Di Singapura,
karena Grab sudah tidak memiliki pesaing lagi, maka terjadilah monopoli, dalam
kasus ini Grab menaikkan tarifnya secara tinggi hampir 20-30% tanpa adanya promo, mau tidak mau masyarakat
Singapura menerima hal tersebut karena hanya Grab yang mengusai pasar disana.
Peran
pemerintah dan masyarakat
Adanya
regulasi pemerintah mengenai larangan diskon untuk ojek online, sebenarnya baik
karena bertujuan untuk melindungi Gojek sebagai karya anak bangsa agar tidak
mati. Sebelumnya pemerintah juga sudah menerapkan tarif baru agar persaingan
antara Grab dan Gojek tidak terlalu ‘jomplang’ serta melihat dari sisi
kesejahteraan pengemudi. Tetapi, kebijakan ini tentu tidak berjalan mulus,
tidak menampik sebagai penikmat layanan Grab pasti tergiur dengan promo yang
diberikan, tetapi apa salahnya jika mulai dari sekarang mengurangi menggunakan
keuntungan tersebut secara perlahan walaupun jika kebijakan larangan ini tidak
terealisasi. Setidaknya sebagai masyarakat kita harus mengapresiasi karya anak
bangsa terlebih dahulu.
(Dwi Rahmawati)
Post a Comment